Senin, 16 November 2015

ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN

Ilmu pengetahuan, teknologi dan kemiskinan merupakan bagian-bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi, interelasi, interdenpensi dan ramifikasi. Dengan demikian wajar apabila dalam menghadapi masalah yang kompleks ini, memerlukan studi mendalam dan analisis interdisipliner kalau tidak ingin mencampuradukkan unsur-unsur sintetis dengan sintetisnya sendiri. Maka usaha mulia berikutnya adalah untuk membuatnya operasional dalam rangka social engineering-nya.
1.       ILMU PENGETAHUAN
Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafah tidaklah sederhana karena bermacam-macam pandangan dan teori. Diantaranya adalah pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang budi. Menurut decartes, ilmu pengetahuan merupakan serba budi. Oleh Bacon dan David Home diartikan sebagai pengalaman indera dan batin. Menurut Immanuel kant, pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman. Dan Phyroo mengatakan bahwa tidak ada kepastian dalam pengetahuan.
Dari berbagai macam pandangan tentang pengetahuan diperoleh sumber-sumber pengetahuan berupa ide, kenyataan, kegiatan akal-budi, pengalaman, sintesis budi, atau meragukan karena tak adanya sarana untuk mencapai pengetahuan yang pasti.
Untuk membuktikan apakah isi pengetahuan itu benar maka diperlukan pangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan. Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, dimana pengetahuan dianggap benar apabila dalil itu mempunyai hubungan dengan dalil terdahulu. Teori kedua adalah, pengetahuan itu benar apabila mempunyai kesesuaian dengan kenyataan. Teori ketiga menyatakan bahwa pengetahuan itu benar apabila mempunyai konsekuensi praktis dalam diri masing-masing.
Banyaknya teori dan dan pendapat tentang pengetahuan mengakibatkan suatu definisi mengenai pengetahuan akan mengalami kesulitan. Sebab membuat suatu definisi dari definisi ilmu pengetahuan yang dikalangan ilmuan sendiri sudah ada keseragaman pendapat, dan hanya akan terperangkap dalam tautologis dan pleonasme atau mubazir saja.
Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitusuatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk sistemasi, kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berfikir analitis, sintesis, induktif, dan deduktif. Yag terakhir adalah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.
Untuk mencapai suatu pengetahuan  yang ilmiah dan objektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah. Sikap yang bersifat  ilmiah  itu meliputi  empat hal:
a. Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif.
b. Selektif,   artinya  mengadakan pemilihan  terhadap  problema  yang dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala dan  mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada.
c. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun terhadap alat indera dan budi yang digunakan untuk mencapai ilmu.
d. Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali.
IImu pengetahuan mencakup ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan social dan kemanusiaan dan sebagai apa yang disebut generic meliputi segala usaha penelitian dasar dan terapan serta pengembangannya. Penelitian dasar bertujuan utama menambah pengetahuan ilmiah, sedangkan penelitian terapan adalah untuk menerapkan secara praktis pengetahuan ilmiah. Pengembangan diartikan sebagai penggunaan sistematis dari pengetahuan  yang diperoleh penelitian  untuk keperluan  produksi bahan-bahan, cipta rencana sistem metode atau proses yang berguna, tetapi yang tidak mencakup produksi atau engineeringnya.
Dalam menerapkan dan mengemangkan ilmu pengetahuan, perlu diperhatikan hambatan sosialnya. Bagaimana konteksnya dengan teknologi dan kemungkinan untuk mewujudkan suatu perpaduan dan pertimbangan moral dan ilmiah. Sebab manusia tidak akan selalu sadar, dan manusia yang paling sederhanapun hanya menerima informasi mengenai kemungkinan yang dihasilkan oleh peneliti sebelumnya.
Alasan lain untuk mengintegrasikan kedua bidang tersebut ialah karena dalam perkembangan ilmu-ilmu modern, pengetahuan manusia telah mencapai lingkupnya yang paling luas, dimulai dengan pikiran ontologis, kemudian mengambil jarak terhadap alam sekitarnya. Alam dipelajari, direnggut, dan rahasia-rahasianya dimanfaatkan bagi manusia. Timbullah kesan seolah-olah pengetahuan ilmiah merupakan suatu tujuan tersendiri (Ilmu demi ilmu). Bahkan ada ilmu pengetahuan murni jadi lepas dari apa yang  ada di luar ruang lingkup ilmu, lepas dari masyarakat dan hidup sehari-hari. Di sini manusia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai kebaikan dan kejahatan kesadaran politik, nilai-nilai religius, dan sebagainya. 
IImu pengetahuan sekarang menghadapi kenyataan kemiskinan,yang pada hakikatnya   tidak dapat melepaskan diri dari kaitannya dengan ilmu ekonomi karena kemiskinan merupakan persoalan ekonomi yang paling elementer, di mana kekurangan dadpat menjurus kepada kematian. Tetapi di lain pihak ekonomi sekarang berada pada puncak kegemilangan intelektual, banyak menggunakan penilaian matematis dan usaha pembuatan model matematis yang merupakan usaha yang amat makmur  (American Ekonomic Associa­tion). Dalam hal ini tentu ekonomi perlu menyajikan analisis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dengan bermacam-macam kadar asumsinya, sebab apabila bertentangan dengan nilai-nilai atau etika yang hidup dalam masyarakat dan model-model yang dibangunnya tidak relevan, akan memberi kesan sebagai suatu ilmu yang mengajarkan keserakahan.

2.   TEKNOLOGI
Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara akademis dapatlah dikatakan, bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge), dan teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian berhubungan dengan proses produksi; menyangkut cara bagaimana berbagai sumber, tanah, modal,  tenaga kerja dan keterampilan  dikombinasikan  untuk merealisasi tujuan produksi. Secara konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis,  tetapi secara luas juga  meliputi teknologi  sosial, terutama teknologi sosial pembangunan (the social technology of development) sehingga teknologi itu adalah metode sistematis untuk mencapai setiap tujuan insani.
Teknologi  memperlihatkan  fenomenanya  dalam masyarakat  sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis. Jacques Ellul dalam tulisannya berjudul "The Tech­ nological Society" (1964) tidak mengatakan teknologi tetapi teknik, meskipun arti atau maksudnya sarna. Menurut Ellul istilah teknik adalah  berbagai  usaha, metode  dan  cara  untuk  memperoleh  hasil  yang  sudah  distandardisasi   dan diperhitungkan  sebelumnya.
Fenomena  teknik  pada masyarakat  kini,  menurut  Sastrapratedja  (1980)
memiliki  ciri-ciri  sebagai berikut  :
a.  Rasionalitas, artinya tindakan spontak oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan  dengan perhitungan  rasional.
b. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksankaan  otomatis.
d. Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
e. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
f. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan  ideologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.

Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh Ellul sebagai berikut :
1. Teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri.
2. Teknik meliputi bidang organisasi seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum dan  militer.
3. Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga, hiburan dan obat-obatan.

Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik.
Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
1.  Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan teknik mekanisme. Manusia melebur dengan kemanisme teknik, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan mekanisme  teknik, menuntut kualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak hadir di dalamnya atau pekerjaannya.
2.  Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan dan hakikat manusia.
3. Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepas dari hakikat kehidupan.
4. Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada perubahan norma dalam masyarakat maka akan muncul goncangan.
5. Teknik-teknik manusiawi dalam arti ketat. Artinya, teknik-teknik  manusiawi harus memberikan kepada manusia suatu kehidupan manusia yang sehat dan seimbang, bebas dari tekanan-tekanan.

Adapun Alvion Toffler (1970) mengumpamakan "teknologi" itu sebagai mesin yang besar atau sebuah akselerator (alat mempercepat) yang dahsyat, dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan secara  kuantitatif   dan kualitatif, maka kian meningkat pula proses akselerasi yang ditimbulkan oleh mesin   pengubah, lebih-lebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik lagi.

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian-bagian yang dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi dengan sistern-sistern lain dalam kerangka nasional seperti kemiskinan. Maka ada interrelasi, interaksi, dan interdependensi antara kemiskinan dan sistem atau subsistem "ilmu pengetahuan dan teknologi".
Saat ini sudah dikonstantasi, bahwa negara-negara teknologi maju telah memasuki tahap superindustrialisme, melalui inovasi teknologis tiga tahap : (a) ide kreatif, (b) penerapan praktisnya, dan (c) difusi atau penyebarluasan dalam masyarakat. Ketiga tahap ini merupakan siklus yang menimbulkan bermacam-macarn ide kreatif baru sehingga merupakan reaksi berantai yang disebut proses perubahan.
Dengan semakin meningkatnya teknologi, tempat proses perubahan itu tidak dapat dipandang "normal" lagi, dan tercapailah akselerasi ekstern maupun intern (psikologis) yang merupakan kekuatan sosial yang kurang mendalam dipahami.
Menurut Toffler ada kekuatan lain yang dapat mengubah wajah dan eksistensi manusia yaitu transience (keadaan yang bersifat sementara).
Transience merupakan alat kasar yang berguna dalam mengukur laju mengalirnya situasi, dan menjembatani teori-teori sosiologis tentang perubahan dan psikologi insasi perseorangan. Masyarakat, menurut transisence, dibagi ke dalam dua kelompok : (1) high transience dan (2) low transience. Eksplorasinya mengenai kehidupan masyarakat high transience menghasilkan ringkasan sebagai berikut :
a. Benda : hubungan "manusia-benda" tidak awet, dan masyarakatnya merupakan masyarakat pembuang. Bandingkan, misalnya, pulpen bertinta yang "permanen" dengan ballpoint yang dibuang setelah habis.
b. Tempat: Hubungan "manusia-tempat" menjadi lebih sering, lebih rapuh, dan lebih sementara; jarak fisik semakin tidak berarti, masyarakat amat mobil penuh dengan "nomad baru". Secara kiasan, "tempat" pun seolah­olah cepat terpakai habis, tak berbeda dengan, misalnya, minuman dalam kaleng.
c. Manusia: hubungan "manusia-manusia" pun pada umumnya menjadi sangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antar manusia tidak menyangkut keseluruhan personalitas, melainkan bersifat dangkal dan terbatas; secara kiasan terdapat "orang yang dapat dibuang".
d. Organisasi: organisasi ada kecenderungan menjadi superbirokrasi di masa depan. Manusia dapat kehilangan individualitas dan personalitasnya dalam mesin organisasi yang besar, namun hakikat sistemnya sendiri telah banyak mengalami perubahan. Hubungan "manusia-organisasi" pun seolah-olah menjadi mengalir dan beraneka ragam, menjadi sementara, baik hubungan formalnya (departemen, bagian, klub, dsb) maupun informalnya (klik, kelompok minum kopi, dsb). Banyak cara "proyek", "kelompok task force", dsb., yang semuanya pada hakikatnya merupakan "kelompok adhoc" atau hanya untuk keperluan khusus.
e. Ide: hubungan "manusia-ide" bersifat sementara karena ide dan image timbul dan menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi gelombang ide menyusupi hampir segala bidang aktivitas manusia.
Ciri-ciri akselerasi dan transience yang semakin tinggi pada masyarakat yang semakin maju teknologinya, menyebabkan seolah-olah satu­ satunya yang tetap adalah perubahan, meliputi perubahan nilai operasional, fungsi dan keahlian, yang sifatnya mengganti, mengubah, menambah, menyusun, menghapus, dan menguatkan.
Ketentuan-ketentuan di atas menjelaskan bahwa teknologi dalam situasi tertentu dapat tidak netral lagi karena mengandung potensi merusak dan potensi kekuasaan. Teknologi bersifat ambivalen; di samping segi yang positif, juga memperlihatkan yang negatif, terkadang dianggap suci demi tujuan akhir, bukan sebagai alat lagi. Oleh karena itu teknologi membutuhkan bimbingan moral atau ajaran-ajaran agama, menentukan apa yang harus dan apa yang jangan dilakukan.
Teknologi tepat guna sering tidak berdaya menghadapi teknologi Barat, yang sering masuk dengan ditunggangi oleh segelintir orang atau kelompok yang bermodal besar. Ciri-ciri teknologi Barat tersebut adalah :
I) Serba intensif dalam segala hal, seperti modal, organisasi, tenaga kerja dan lain-lain, sehingga lebih akrab dengan kaum elit daripada dengan buruh itu sendiri.
2) Dalam struktur sosial, teknologi barat bersifat melestarikan sifat kebergantungan.
3) Kosmologi atau pandangan teknologi Barat adalah: menganggap dirinya sebagai pusat yang lain feriferi, waktu berkaitan dengan kemajuan secara linier, memahami realitas secara terpisah dan berpandangan manusia sebagai tuan atau mengambil jarak dengan alam

3.   ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN NILAI
Ilmu pengetahuan dan teknologi sering dikaitkan dengan nilai atau moral. Hal ini besar perhatiannya tatkala dirasakan dampaknya melalui kebijaksanaan pembangunan, yang pada hakikatnya adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penerapan ilmu pengetahuan khususnya teknologi kurang memperhatikan masalah nilai, moral atau segi-segi manusiawinya. Keadaan demikian tidak luput dari falsafah pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan antara orientasi produksi dengan motif ekonomi yang kuat, dengan orientasi nilai yang menyangkut segi-segi kemanusiaan yang terkadang harus dibayar lebih mahal.
Ilmu dapatlah dipandang sebagai produk, sebagai proses, dan sebagai paradigma etika (Jujun S. Suriasumantri, 1984). Ilmu dipandang sebagai proses karena ilmu merupakan hasil dari kegiatan sosial, yang berusaha memahami alam, manusia dan perilakunya baik secara individu atau kelompok.
Apa yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, merupakan hasil penalaran (rasio) secara objektif. Ilmu sebagai produk artinya ilmu diperoleh dari hasil metode keilmuwan yang diakui secara umum dan universal sifatnya. Oleh karena itu ilmu dapat diuji kebenarannya, sehingga tidak mustahil suatu teori yang sudah mapan suatu saat dapat ditumbangkan oleh teori lain. Ilmu sebagai ilmu, karena ilmu selain universal, komunal, juga alat menyakinkan sekaligus dapat skeptis, tidak begitu saja mudah menerima kebenaran.
Istilah ilmu di atas, berbeda dengan istilah pengetahuan. Ilmu adalah diperoleh melalui kegiatan metode ilmiah atau epistemologi. Jadi, epistemologi merupakan pembahasan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Epistemologi ilmu terjamin dalam kegiatan metode ilmiah. Metode ilmiah adalah kegiatan menyusun tubuh pengetahuan yang bersifat logis, penjabaran hipotesis dengan deduksi dan verifikasi atau menguji kebenarannya secara faktual; Sehingga kegiatannnya disingkat menjadi logis-hipotesis-verifikasi atau deduksi­ hipotesis-verifikasi. Sedangkan pengetahuan adalah pikiran atau pemahaman di luar atau tanpa kegiatan metode ilmiah, sifatnya dapat dogmatis, banyak spekulasi dan tidak berpijak pada kenyataan empiris. Sumber pengetahuan dapat berupa hasil pengalaman berdasarkan akal sehat (common sense) yang disertai mencoba-coba, intuisi dan wahyu.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki tiga komponen penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya yaitu: ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Komponen Aksiologis adalah asas menggunakan ilmu pengetahuan atau fungsi dari ilmu pengetahuan. Ketiga komponen ontologis, epistemologis dan aksiologis tersebut erat kaitannya dengan nilai atau nilai moral.
Komponen ontologis kegiatannnya adalah menafsirkan hikayat realitas yang ada, sebagaimana adanya, melalui desuksi-desuksi yang dapat diuji secara fisiko. Artinya ilmu harus bebas dari nilai-nilai yang sifatnya dogmatik.
Komponen epistemologis berkaitan dengan nilai atau moral pada saat proses logis-hipotesis-verifikasi. Sikap moral implisit pada proses tersebut. Asas moral yang terkait tujuan tetapi sebagai alat atau sarana dalam.
Komponen aksiologis artinya lebih lengket dengan nilai atau moral. Di mana ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan demi kemaslahatan manusia.
Uraian kaitan ilmu dengan nilai diatas, memperlihatkan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Adapun ilmu yang bebas nilai, maksudnya suatu tuntutan yang ditujukan kepada semua kegiatan ilmiah atas dasar akibat ilmu pengetahuan itu sendiri (Melsen, 1985).
Kaitan ilmu dan teknologi dengan nilai atau moral, berasal dari ekses penerapan ilmu dan teknologi sendiri. Dalam hal ini sikap ilmuwan dibagi menjadi dua golongan :
1) Golongan yang menyatakan ilmu dan teknologi adalah bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun secara aksiologis, soal penggunaannya terserah kepada si ilmuwan itu sendiri, apakah digunakan untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Golongan ini berasumsi bahwa kebenaran itu dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga nilai-nilai kemanusiaan             lainnya dikorbankan demi teknologi.
2) Golongan yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi itu bersifat netral hanya dalam batas-batas metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaan dan penelitiannya harus berlandaskan pada asas-asas moral at au nilai-nilai. Golongan ini berasumsi bahwa ilmuwan telah mengetahui ekses-ekses yang terjadi apabila ilmu dan teknologi disalahgunakan.
Nampaknya ilmuwan golongan kedua yang patut kita masyarakatkan sikapnya sehingga ilmuwan terbebas dari kecenderungan "pelacuran" dibidang ilmu dan teknologi, dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Sistem teknologi yang dikendalikan oleh kelompok asing, telah dengan  seenaknya  mengubur dan mematikan kekuatan kerajinan rakyat tradisional. Kebudayaan tradisional dan nilai yang dulu dijunjung tinggi, sedikit demi sedikit luntur akibat perkembangannya ilmu dan teknologi.
Kearifan masyarakat tradisional dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungan alam, dirusak oleh kebijaksanaan eksploitasi yang dimotivasi oleh ilmu dan kecanggihan teknologi.
Upaya untuk menjinakkan teknologi di antaranya :
1) Mempertimbangkan atau kalau perlu mengganti kriteria utama dalam menolak at au menerapkan suatu inovasi teknologi yang didasarkan pada keuntungan ekonomis atau sumbangannya kepada pertumbuhan ekonomi.
2) Pada tingkat konsekuensi sosial, penerapan teknologi harus merupakan hasil kesepakatan ilmuan sosial dari berbagai disiplin ilmu.

4. KEMISKINAN
Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dll.
Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal:
(1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, (2) posisi manusia dalam lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi.
Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, keterampilan, dsb.
b. Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. Seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal usaha.
c. Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan.
d. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed), berusaha apa saja.
e.   Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai keterampilan.
Kemiskinan menurut orang lapangan (umum) dapat dikategorikan kedalam tiga unsur: (I) kemiskinan yang disebabkan handicap badaniah ataupun mental seseorang, (2) kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam, dan (3) kemiskinan buatan. Yang relevan dalam hal ini adalah kemiskinan buatan, buatan manusia terhadap manusia pula yang disebut dengan kemiskinan struktural. ltulah kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur (buatan manusia), baik struktur ekonomi, politik, sosial, maupun kultur.
Pola relasi dari struktur ini, yang urgen adalah struktur dalam soal sosial­ekonomi meskipun struktur lainnya mcnentukan. Pola relasi dalam struktur sosial ekonomi ini dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Pola relasi antara manusia (subjek) dengan sumber-sumber kemakmuran ekonomi seperti alat-alat produksi, fasilitas-fasilitas negara, perbankan, dan kekayaan sosial. Apakah ini dimiliki, disewa, bagi-hasil, gampang atau sulit bagi atau oleh subjek tersebut.
b. Pola relasi antara subjek dengan hasil produksi. Ini menyangkut masalah distribusi hasil, apakah memperoleh apa yang diperlukan sesuai dengan kelayakan derajat hidup manusiawi.
c. Pola relasi antara subjek atau komponen-komponen sosial-ekonomi dalam keseluruhan mata rantai kegiatan dengan bantuan sistem produksi.
Dalam hal ini adalah mekanisme pasar, bagaimana posisi dan peranan manusia sebagai subjek dalam berfungsinya mekanisme tersebut.
Kemiskinan memiliki sejumlah fungsi yaitu :
1)       Fungsi ekonomi : penyediaan tenaga untuk pekerjaan tertentu, menimbulkan dana social, membuka lapangan kerja baru dan memanfaatkan barang bekas.
2)       Funsi social : menimbulkan altruism dan perasaan, sumber imajinasi kesulitan hidup bagi si kaya, sebagai ukuran kemajuan bagi kelas lain dan mendorong munculnya badan amal.
3)       Fungsi kultural : sumber insprirasi kebijaksanaan teknorat dan sumber inspirasi sastrawan dan memperkaya budaya saling mengayomi antar manusia.
4)       Fungsi politik : sebagai kelompok gelisah atau masyarakat marginal untuk musuh bersaing bagi kelompok lain.
Walaupun kemiskinan mempunyai fungsi, bukan berarti menyetujui lembaga tersebut. Tetapi karena kemiskinan berfungsi maak harus dicarikan fungsi lain sebagai pengganti.