Ilmu
pengetahuan, teknologi dan kemiskinan merupakan bagian-bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi, interelasi, interdenpensi dan
ramifikasi. Dengan demikian wajar apabila dalam menghadapi masalah yang
kompleks ini, memerlukan studi mendalam dan analisis interdisipliner kalau
tidak ingin mencampuradukkan unsur-unsur sintetis dengan sintetisnya sendiri.
Maka usaha mulia berikutnya adalah untuk membuatnya operasional dalam rangka
social engineering-nya.
1.
ILMU
PENGETAHUAN
Pengertian
pengetahuan sebagai istilah filsafah tidaklah sederhana karena bermacam-macam
pandangan dan teori. Diantaranya adalah pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat
diinderai dan dapat merangsang budi. Menurut decartes, ilmu pengetahuan merupakan serba budi. Oleh Bacon dan David Home diartikan sebagai pengalaman indera dan batin. Menurut Immanuel kant, pengetahuan merupakan
persatuan antara budi dan pengalaman. Dan Phyroo
mengatakan bahwa tidak ada kepastian dalam pengetahuan.
Dari berbagai
macam pandangan tentang pengetahuan diperoleh sumber-sumber pengetahuan berupa
ide, kenyataan, kegiatan akal-budi, pengalaman, sintesis budi, atau meragukan
karena tak adanya sarana untuk mencapai pengetahuan yang pasti.
Untuk
membuktikan apakah isi pengetahuan itu benar maka diperlukan pangkal pada
teori-teori kebenaran pengetahuan. Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan
dalil, dimana pengetahuan dianggap benar apabila dalil itu mempunyai hubungan
dengan dalil terdahulu. Teori kedua adalah, pengetahuan itu benar apabila
mempunyai kesesuaian dengan kenyataan. Teori ketiga menyatakan bahwa
pengetahuan itu benar apabila mempunyai konsekuensi praktis dalam diri
masing-masing.
Banyaknya teori
dan dan pendapat tentang pengetahuan mengakibatkan suatu definisi mengenai
pengetahuan akan mengalami kesulitan. Sebab membuat suatu definisi dari
definisi ilmu pengetahuan yang dikalangan ilmuan sendiri sudah ada keseragaman
pendapat, dan hanya akan terperangkap dalam tautologis dan pleonasme atau mubazir
saja.
Langkah-langkah
dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan.
Dimulai dengan pengamatan, yaitusuatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang
mendukung apa yang dipikirkan untuk sistemasi, kemudian menggolong-golongkan
dan membuktikan dengan cara berfikir analitis, sintesis, induktif, dan
deduktif. Yag terakhir adalah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan
fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.
Untuk
mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan objektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah. Sikap yang
bersifat ilmiah
itu meliputi empat
hal:
a. Tidak ada perasaan
yang bersifat pamrih
sehingga mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif.
b.
Selektif, artinya mengadakan
pemilihan terhadap problema
yang
dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala dan mengadakan
pemilihan terhadap hipotesis yang
ada.
c.
Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan
yang tak dapat diubah maupun terhadap alat indera
dan budi yang digunakan untuk mencapai ilmu.
d.
Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori
maupun aksioma terdahulu telah
mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali.
IImu pengetahuan
mencakup ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan social
dan kemanusiaan dan sebagai apa yang disebut generic meliputi segala usaha penelitian dasar dan terapan serta pengembangannya. Penelitian
dasar bertujuan utama menambah pengetahuan ilmiah, sedangkan
penelitian terapan adalah untuk menerapkan secara praktis pengetahuan ilmiah. Pengembangan
diartikan sebagai penggunaan sistematis dari pengetahuan yang diperoleh penelitian untuk keperluan produksi bahan-bahan, cipta rencana sistem
metode atau proses yang berguna, tetapi yang tidak mencakup produksi atau
engineeringnya.
Dalam
menerapkan dan mengemangkan ilmu pengetahuan, perlu diperhatikan hambatan
sosialnya. Bagaimana konteksnya dengan teknologi dan kemungkinan untuk
mewujudkan suatu perpaduan dan pertimbangan moral dan ilmiah. Sebab manusia
tidak akan selalu sadar, dan manusia yang paling sederhanapun hanya menerima
informasi mengenai kemungkinan yang dihasilkan oleh peneliti sebelumnya.
Alasan
lain untuk mengintegrasikan kedua bidang tersebut ialah karena dalam
perkembangan ilmu-ilmu modern, pengetahuan manusia telah mencapai lingkupnya
yang paling luas, dimulai dengan pikiran ontologis, kemudian mengambil jarak
terhadap alam sekitarnya. Alam dipelajari, direnggut, dan rahasia-rahasianya
dimanfaatkan bagi manusia. Timbullah kesan seolah-olah pengetahuan ilmiah
merupakan suatu tujuan tersendiri (Ilmu demi ilmu). Bahkan ada ilmu pengetahuan
murni jadi lepas dari apa yang ada di luar ruang lingkup ilmu, lepas dari masyarakat
dan hidup sehari-hari. Di sini manusia
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai kebaikan dan kejahatan
kesadaran politik, nilai-nilai religius, dan sebagainya.
IImu pengetahuan sekarang
menghadapi kenyataan kemiskinan,yang pada hakikatnya tidak dapat melepaskan
diri dari kaitannya dengan ilmu ekonomi karena kemiskinan merupakan persoalan ekonomi
yang paling elementer, di mana kekurangan dadpat menjurus kepada kematian. Tetapi
di lain pihak ekonomi sekarang berada pada puncak kegemilangan intelektual,
banyak menggunakan penilaian matematis dan usaha
pembuatan model matematis yang merupakan
usaha yang amat makmur (American
Ekonomic Association). Dalam hal ini tentu ekonomi perlu menyajikan analisis
yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dengan bermacam-macam kadar
asumsinya, sebab apabila bertentangan dengan nilai-nilai atau etika yang hidup
dalam masyarakat dan model-model yang dibangunnya tidak relevan, akan
memberi kesan sebagai suatu ilmu yang mengajarkan keserakahan.
2. TEKNOLOGI
Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara
akademis dapatlah dikatakan, bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge), dan teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung
pengertian berhubungan dengan proses produksi; menyangkut cara bagaimana berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja dan keterampilan
dikombinasikan
untuk
merealisasi tujuan produksi. Secara konvensional mencakup
penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga
meliputi teknologi
sosial, terutama teknologi sosial pembangunan (the social technology
of development) sehingga teknologi itu adalah metode sistematis
untuk mencapai setiap
tujuan insani.
Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi
mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis. Jacques
Ellul dalam tulisannya berjudul "The Tech nological Society" (1964) tidak mengatakan teknologi
tetapi teknik, meskipun arti atau maksudnya sarna. Menurut Ellul
istilah teknik adalah berbagai usaha, metode dan cara
untuk
memperoleh
hasil
yang
sudah
distandardisasi dan diperhitungkan sebelumnya.
Fenomena teknik pada masyarakat kini, menurut
Sastrapratedja
(1980)
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Rasionalitas,
artinya tindakan spontak oleh teknik diubah menjadi tindakan
yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
b. Artifisialitas, artinya
selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c. Otomatisme, artinya dalam
hal metode, organisasi dan rumusan dilaksankaan otomatis.
d. Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
e. Monisme, artinya
semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
f. Universalisme,
artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ideologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip
sendiri.
Luasnya bidang teknik, digambarkan
oleh Ellul sebagai berikut :
1. Teknik
meliputi bidang ekonomi, artinya
teknik mampu menghasilkan barang-barang industri.
2.
Teknik meliputi bidang organisasi seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum
dan militer.
3.
Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti
pendidikan, kerja, olahraga, hiburan dan obat-obatan.
Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah
suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk
pada teknik.
Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi,
terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini
telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan
akibat penyerapan teknik mekanisme. Manusia melebur dengan
kemanisme teknik, sehingga waktu
manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia
dengan mekanisme teknik, menuntut
kualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak hadir di dalamnya atau
pekerjaannya.
2. Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik
telah mengubah lingkungan dan hakikat
manusia.
3. Perubahan
waktu dan gerak manusia. Akibat
teknik, manusia terlepas dari hakikat kehidupan.
4.
Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa,
artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada perubahan norma dalam masyarakat maka akan muncul goncangan.
5. Teknik-teknik manusiawi
dalam arti ketat. Artinya, teknik-teknik manusiawi harus memberikan kepada manusia suatu kehidupan manusia
yang sehat dan seimbang, bebas dari tekanan-tekanan.
Adapun Alvion Toffler (1970) mengumpamakan "teknologi"
itu sebagai mesin yang besar atau sebuah akselerator (alat mempercepat) yang
dahsyat, dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan
meningkatnya ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan
kualitatif, maka kian
meningkat pula proses akselerasi yang ditimbulkan oleh mesin pengubah, lebih-lebih teknologi mampu
menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan
lebih baik lagi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian-bagian yang
dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan dari suatu sistem
yang berinteraksi dengan sistern-sistern
lain dalam kerangka nasional seperti kemiskinan. Maka
ada interrelasi, interaksi, dan
interdependensi antara kemiskinan dan sistem atau subsistem "ilmu pengetahuan
dan teknologi".
Saat ini sudah
dikonstantasi, bahwa negara-negara teknologi maju telah memasuki tahap superindustrialisme, melalui
inovasi teknologis tiga tahap : (a) ide kreatif, (b) penerapan praktisnya, dan
(c) difusi atau penyebarluasan dalam
masyarakat. Ketiga tahap ini
merupakan siklus yang menimbulkan bermacam-macarn ide kreatif baru sehingga
merupakan reaksi berantai yang disebut proses perubahan.
Dengan semakin meningkatnya teknologi, tempat proses perubahan
itu tidak dapat dipandang "normal" lagi,
dan tercapailah akselerasi ekstern maupun intern (psikologis) yang merupakan kekuatan
sosial yang kurang mendalam dipahami.
Menurut Toffler ada kekuatan
lain yang dapat mengubah wajah dan eksistensi manusia yaitu transience (keadaan
yang bersifat sementara).
Transience merupakan alat
kasar yang berguna dalam mengukur laju mengalirnya situasi, dan menjembatani
teori-teori sosiologis tentang perubahan dan
psikologi insasi perseorangan. Masyarakat, menurut transisence, dibagi
ke dalam dua kelompok : (1) high
transience dan (2) low transience. Eksplorasinya mengenai kehidupan masyarakat
high transience menghasilkan ringkasan sebagai berikut :
a. Benda
: hubungan "manusia-benda" tidak awet, dan
masyarakatnya merupakan masyarakat pembuang. Bandingkan, misalnya, pulpen
bertinta yang "permanen" dengan ballpoint yang dibuang setelah habis.
b. Tempat: Hubungan "manusia-tempat"
menjadi lebih sering, lebih rapuh, dan lebih sementara;
jarak fisik semakin tidak berarti, masyarakat amat mobil penuh dengan "nomad
baru". Secara kiasan, "tempat" pun seolaholah cepat
terpakai habis, tak berbeda dengan, misalnya, minuman
dalam kaleng.
c.
Manusia: hubungan "manusia-manusia"
pun pada umumnya menjadi sangat sementara dan coraknya
fungsional. Kontak antar manusia tidak menyangkut keseluruhan personalitas,
melainkan bersifat dangkal dan terbatas; secara kiasan terdapat "orang
yang dapat dibuang".
d.
Organisasi: organisasi ada kecenderungan
menjadi superbirokrasi di masa depan.
Manusia dapat kehilangan individualitas dan personalitasnya
dalam mesin organisasi yang besar, namun
hakikat sistemnya sendiri telah banyak mengalami perubahan. Hubungan "manusia-organisasi"
pun seolah-olah menjadi mengalir dan
beraneka ragam, menjadi sementara, baik hubungan formalnya (departemen, bagian,
klub, dsb) maupun informalnya (klik, kelompok
minum kopi, dsb). Banyak cara "proyek", "kelompok task
force", dsb., yang semuanya pada hakikatnya merupakan "kelompok adhoc"
atau hanya untuk keperluan khusus.
e. Ide: hubungan
"manusia-ide" bersifat sementara karena ide dan image timbul dan
menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi gelombang ide menyusupi hampir
segala bidang aktivitas manusia.
Ciri-ciri akselerasi dan transience yang semakin tinggi pada
masyarakat yang semakin maju teknologinya, menyebabkan seolah-olah satu
satunya yang tetap adalah perubahan, meliputi perubahan nilai operasional, fungsi
dan keahlian, yang sifatnya mengganti, mengubah, menambah, menyusun, menghapus,
dan menguatkan.
Ketentuan-ketentuan di atas menjelaskan
bahwa teknologi dalam situasi tertentu dapat tidak netral lagi karena
mengandung potensi merusak dan potensi
kekuasaan. Teknologi bersifat ambivalen; di samping
segi yang positif, juga memperlihatkan yang negatif, terkadang
dianggap suci demi tujuan akhir, bukan sebagai alat lagi. Oleh karena itu teknologi membutuhkan bimbingan moral
atau ajaran-ajaran agama, menentukan apa yang
harus dan apa yang jangan dilakukan.
Teknologi tepat guna sering tidak berdaya menghadapi teknologi
Barat, yang
sering masuk dengan ditunggangi oleh segelintir orang atau kelompok yang
bermodal besar. Ciri-ciri teknologi
Barat tersebut adalah :
I) Serba intensif
dalam segala hal, seperti modal, organisasi, tenaga
kerja dan lain-lain,
sehingga lebih akrab dengan kaum elit daripada dengan buruh itu sendiri.
2) Dalam
struktur sosial, teknologi
barat bersifat melestarikan sifat kebergantungan.
3) Kosmologi atau
pandangan teknologi Barat adalah: menganggap
dirinya sebagai pusat yang lain feriferi, waktu berkaitan dengan kemajuan secara
linier, memahami
realitas secara terpisah
dan berpandangan manusia sebagai tuan atau mengambil jarak dengan alam
3. ILMU
PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN NILAI
Ilmu pengetahuan dan teknologi
sering dikaitkan dengan nilai atau moral.
Hal ini besar perhatiannya tatkala dirasakan dampaknya melalui kebijaksanaan
pembangunan, yang pada hakikatnya
adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penerapan ilmu pengetahuan khususnya teknologi kurang memperhatikan masalah
nilai, moral atau segi-segi
manusiawinya. Keadaan demikian tidak luput dari falsafah pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan antara orientasi produksi dengan motif ekonomi yang kuat, dengan orientasi nilai yang menyangkut segi-segi kemanusiaan yang terkadang harus dibayar lebih mahal.
Ilmu dapatlah dipandang sebagai produk, sebagai
proses, dan sebagai paradigma etika (Jujun S.
Suriasumantri, 1984). Ilmu dipandang sebagai proses karena ilmu
merupakan hasil dari kegiatan sosial, yang
berusaha memahami alam, manusia dan perilakunya baik secara individu atau
kelompok.
Apa yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini,
merupakan hasil penalaran (rasio) secara objektif. Ilmu sebagai produk artinya
ilmu diperoleh dari hasil metode keilmuwan
yang diakui secara umum dan universal sifatnya. Oleh
karena itu ilmu dapat diuji kebenarannya, sehingga tidak mustahil suatu teori
yang sudah mapan suatu saat dapat ditumbangkan oleh teori lain. Ilmu sebagai
ilmu, karena ilmu selain universal, komunal, juga alat menyakinkan sekaligus dapat skeptis, tidak
begitu saja mudah menerima kebenaran.
Istilah ilmu di atas, berbeda dengan istilah pengetahuan. Ilmu
adalah diperoleh melalui kegiatan metode ilmiah atau epistemologi. Jadi, epistemologi
merupakan pembahasan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Epistemologi ilmu terjamin dalam kegiatan metode ilmiah. Metode
ilmiah adalah kegiatan menyusun tubuh pengetahuan yang bersifat logis, penjabaran
hipotesis dengan deduksi dan verifikasi atau menguji kebenarannya secara faktual; Sehingga
kegiatannnya disingkat menjadi logis-hipotesis-verifikasi atau deduksi
hipotesis-verifikasi. Sedangkan pengetahuan adalah pikiran atau pemahaman di
luar atau tanpa kegiatan metode
ilmiah, sifatnya dapat dogmatis, banyak spekulasi dan tidak berpijak pada
kenyataan empiris. Sumber pengetahuan dapat berupa hasil pengalaman berdasarkan
akal sehat (common sense) yang disertai mencoba-coba, intuisi dan wahyu.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki tiga komponen
penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya yaitu: ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Komponen Aksiologis
adalah asas menggunakan ilmu pengetahuan atau fungsi dari ilmu pengetahuan. Ketiga
komponen ontologis, epistemologis dan aksiologis tersebut
erat kaitannya
dengan nilai atau nilai moral.
Komponen ontologis kegiatannnya
adalah menafsirkan hikayat realitas yang ada, sebagaimana adanya, melalui desuksi-desuksi yang dapat diuji secara fisiko. Artinya ilmu harus bebas dari nilai-nilai yang sifatnya dogmatik.
Komponen epistemologis berkaitan dengan
nilai atau moral pada saat proses logis-hipotesis-verifikasi. Sikap moral implisit pada proses tersebut. Asas moral yang terkait tujuan tetapi sebagai alat atau sarana dalam.
Komponen aksiologis artinya lebih lengket dengan nilai atau moral. Di mana ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan demi kemaslahatan manusia.
Uraian
kaitan ilmu dengan nilai diatas, memperlihatkan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Adapun ilmu yang bebas nilai, maksudnya suatu tuntutan yang ditujukan kepada semua kegiatan ilmiah atas
dasar akibat ilmu pengetahuan itu sendiri (Melsen, 1985).
Kaitan ilmu dan teknologi dengan nilai atau moral, berasal dari
ekses penerapan ilmu dan teknologi sendiri. Dalam
hal ini sikap ilmuwan dibagi menjadi dua golongan :
1) Golongan yang menyatakan ilmu dan teknologi
adalah bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun secara
aksiologis, soal penggunaannya terserah kepada si ilmuwan itu sendiri, apakah
digunakan untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Golongan ini berasumsi bahwa
kebenaran itu dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga
nilai-nilai kemanusiaan lainnya
dikorbankan demi teknologi.
2) Golongan yang menyatakan bahwa ilmu
dan teknologi itu bersifat netral
hanya dalam batas-batas
metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaan dan penelitiannya harus
berlandaskan pada asas-asas moral at au nilai-nilai.
Golongan ini berasumsi bahwa
ilmuwan telah mengetahui ekses-ekses yang terjadi apabila
ilmu dan teknologi disalahgunakan.
Nampaknya ilmuwan golongan kedua yang patut kita masyarakatkan
sikapnya sehingga ilmuwan terbebas dari kecenderungan "pelacuran"
dibidang ilmu dan teknologi, dengan
mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Sistem teknologi yang dikendalikan oleh kelompok asing, telah
dengan seenaknya mengubur dan mematikan
kekuatan kerajinan rakyat tradisional. Kebudayaan tradisional dan nilai yang
dulu dijunjung tinggi, sedikit demi sedikit luntur akibat perkembangannya ilmu dan teknologi.
Kearifan masyarakat tradisional
dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungan alam, dirusak oleh kebijaksanaan
eksploitasi
yang dimotivasi oleh ilmu dan kecanggihan teknologi.
Upaya untuk menjinakkan
teknologi di antaranya :
1) Mempertimbangkan
atau kalau perlu mengganti kriteria utama dalam menolak at au menerapkan suatu
inovasi teknologi yang didasarkan pada keuntungan ekonomis atau sumbangannya kepada pertumbuhan
ekonomi.
2) Pada tingkat konsekuensi
sosial, penerapan teknologi harus merupakan
hasil kesepakatan ilmuan sosial dari berbagai disiplin
ilmu.
4. KEMISKINAN
Kemiskinan
lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan berada di bawah
garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat
berteduh, dll.
Kemiskinan
merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai
inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan
bangsa, dan motivasi
fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat
adil dan makmur.
Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum
pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa
dipengaruhi oleh tiga hal:
(1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan,
(2) posisi manusia dalam lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan objektif manusia
untuk bisa hidup secara manusiawi.
Atas dasar
ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Tidak memiliki faktor produksi sendiri
seperti tanah, modal,
keterampilan, dsb.
b. Tidak memiliki kemungkinan
untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan
sendiri. Seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal usaha.
c. Tingkat
pendidikan mereka rendah, tidak sampai
tamat sekolah dasar karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan.
d. Kebanyakan
tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed), berusaha apa saja.
e. Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan
tidak mempunyai keterampilan.
Kemiskinan menurut orang lapangan (umum) dapat dikategorikan
kedalam tiga unsur: (I)
kemiskinan yang disebabkan handicap badaniah
ataupun mental seseorang, (2) kemiskinan yang disebabkan
oleh bencana alam, dan (3) kemiskinan
buatan. Yang relevan dalam hal ini adalah kemiskinan buatan, buatan manusia terhadap manusia
pula yang disebut dengan kemiskinan struktural. ltulah kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur (buatan manusia), baik
struktur ekonomi, politik,
sosial, maupun kultur.
Pola relasi dari struktur ini, yang
urgen adalah struktur dalam soal sosialekonomi
meskipun struktur lainnya mcnentukan. Pola relasi
dalam struktur sosial ekonomi ini dapat
diuraikan sebagai berikut :
a. Pola relasi antara manusia (subjek) dengan sumber-sumber kemakmuran ekonomi seperti
alat-alat
produksi, fasilitas-fasilitas negara, perbankan, dan
kekayaan sosial. Apakah ini dimiliki, disewa, bagi-hasil, gampang
atau sulit bagi atau oleh subjek tersebut.
b. Pola relasi
antara subjek dengan hasil produksi.
Ini menyangkut masalah
distribusi hasil, apakah memperoleh apa yang
diperlukan sesuai dengan kelayakan
derajat hidup manusiawi.
c. Pola relasi
antara subjek
atau komponen-komponen sosial-ekonomi
dalam keseluruhan mata rantai kegiatan dengan bantuan sistem
produksi.
Dalam hal ini adalah mekanisme
pasar, bagaimana posisi
dan peranan manusia sebagai subjek dalam berfungsinya
mekanisme
tersebut.
Kemiskinan memiliki sejumlah fungsi yaitu :
1) Fungsi
ekonomi : penyediaan tenaga untuk pekerjaan tertentu, menimbulkan dana social,
membuka lapangan kerja baru dan memanfaatkan barang bekas.
2) Funsi
social : menimbulkan altruism dan perasaan, sumber imajinasi kesulitan hidup
bagi si kaya, sebagai ukuran kemajuan bagi kelas lain dan mendorong munculnya
badan amal.
3) Fungsi
kultural : sumber insprirasi kebijaksanaan teknorat dan sumber inspirasi sastrawan
dan memperkaya budaya saling mengayomi antar manusia.
4) Fungsi
politik : sebagai kelompok gelisah atau masyarakat marginal untuk musuh
bersaing bagi kelompok lain.
Walaupun
kemiskinan mempunyai fungsi, bukan berarti menyetujui lembaga tersebut. Tetapi karena
kemiskinan berfungsi maak harus dicarikan fungsi lain sebagai pengganti.